Advertisement
Dilanda Banjir Besar, Begini Jejak Penggundulan Hutan di Sumatra
Kondisi permukiman warga di Desa Blang Meurandeh, Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang, Kabupaten Nagan Raya, Aceh, pasca terjangan banjir bandang yang menyebabkan sebagian lahan warga hilang dan berubah menjadi aliran sungai, Jumat (28/11/2025). ANTARA/ist-Dok Warga - Sudirman
Advertisement
JAKARTA—Bencana yang melanda Sumatra belakangan ini memicu pertanyaan publik soal jejak deforestasi atau penggundulan hutan yang terjadi di pulau ini.
Sumatra sejak lama merupakan produsen kayu gelondongan. Data menunjukkan selama dua dekade, hutan-hutan Sumatra jadi kontributor kayu nasional, mengiringi Pulau Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Banjir bandang dan tanah longsor yang dipicu cuaca ekstrem, juga memunculkan pilu karena menggambarkan kerusakan hutan di Sumatra.
Advertisement
Memang cuaca ekstrem juga menimpa belahan negara lain, seperti Thailand juga Vietnam. Namun bencana yang terjadi di Sumatra, melampaui bayangan bencana melanda akibat cuaca. Tiga provinsi di Sumatra menanggung akibat, tanah longsor dan banjir bandang menghempas.
Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat menderita. Ratusan orang dikabarkan jadi korban meninggal dunia. Ribuan orang di puluhan kabupaten/kota mengungsi, terisolir tanpa bantuan memadai.
BACA JUGA
Hal ini memaksa siapapun melacak jejak kerusakan alam Sumatra. Terlebih lagi, arus bandang cokelat pekat, menghanyutkan pula berton-ton kayu gelondongan. Memicu pertanyaan publik terkait penggundulan hutan, penebangan kayu yang masif, alihfungsi lahan. Pertanyaan besarnya adalah, mengapa deforestasi terus terjadi?
Di satu sisi, Pemerintah Pusat yang diwakili salah seorang pejabat di lingkungan Kementerian Kehutanan membantah adanya aktivitas penebangan kayu, penggundulan hutan Sumatra. Belakangan melalui siaran pers, Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan Dwi Januanto meralat asumsi tersebut.
“Saya perlu menegaskan penjelasan kami tidak pernah dimaksudkan untuk menafikan kemungkinan adanya praktik ilegal di balik kayu-kayu yang terbawa banjir,” ungkapnya.
Sebaliknya, data dari berbagai lembaga menyiratkan eksploitasi lahan dan hutan Sumatra tetap melaju. Seiring itu pula, konflik terbuka antara korporat, negara, melawan masyarakat terus berkobar. Sumatra sejak dulu tercatat sebagai wilayah produsen kayu.
Lebih dari dua dekade lalu, bahkan Sumatra jadi kontributor kedua terbesar bagi produksi kayu nasional. Namun belakangan, kayu-kayu hutan dari Sumatra makin langka diburu. Posisi Sumatra kemudian tergantikan oleh wilayah lain, seperti Maluku, Sulawesi, dan Nusa Tenggara.
Berdasarkan publikasi Badan Pusat Statistik terkait Perusahaan Pemegang Hak Pengusahaan Hutan/HPH pada 2006, Sumatra masih merupakan pulau dengan jumlah perusahaan terbanyak kedua, setelah Kalimantan. Terdapat 48 HPH dengan total konsesi 2,4 juta hektar.
Secara luas konsesi, Sumatra menempati peringkat ketiga setelah Kalimantan seluas 12,8 juta hektare, Papua seluas 9,9 juta hektare. Di bawah Sumatra, berurutan Maluku dan Sulawesi. Pada tahun tersebut, total produksi kayu bulat dari tangan HPH tercatat 7,9 juta meter kubik. Dari total tersebut, Sumatra menyumbang sebanyak 1,4 juta meter kubik.
Kayu bulat asal Sumatra paling banyak berjenis kayu rimba campuran, Meranti, hingga Kruing dan Ramin. Untuk kayu Meranti, Sumatra menempati peringkat ketiga pulau penghasil kayu terbesar, di bawah Papua dan Kalimantan.
Kemudian hampir dua dekade belakangan, volume produksi itu menyusut. Berdasarkan data BPS pada 2024, kini produksi kayu bulat secara nasional hanya sekitar 4,25 juta meter kubik. Mengalami tren penurunan tajam. Jumlah pemegang HPH juga menciut.
Total nasional, pemegang HPH saat ini sekitar 178 perusahaan, 11 di antaranya beroperasi di Sumatra. Dari data yang sama, produksi kayu hutan Sumatra surut. Kini hanya tersisa 593 ribu meter kubik, dengan sumbangan terbesar Akasia, Meranti pun kian langka diproduksi.
Posisi Sumatra digeser Maluku, Nusa Tenggara, dan Sulawesi. Secara kebetulan pula, di wilayah tersebut sedang dipacu proyek tambang dan perkebunan. Data tersebut menunjukan mulai melemahnya produksi hutan Sumatra.
Terdapat dua kemungkinan terkait, apakah memang sudah semakin hilangnya pepohonan kayu hutan akibat eksploitasi jangka panjang masa lampau, atau memang sudah disetopnya penebangan pohon?
Persoalan kemudian, berdasarkan data yang dihimpun dataindonesia.id, secara umum Indonesia masih menghadapi deforestasi masif. Bahkan, negara ini masuk dalam dua peringkat teratas kasus deforestasi terbanyak, mencapai 10 juta hektare per tahun pada 2024.
Untuk Sumatra, penggundulan hutan bahkan menyentuh separuh deforestasi netto. Artinya, antara reboisasi versus penggundulan, Sumatra masih mengalami defisit sekitar 78.030,6 hektare, separuh total nasional yang menyentuh 175.437,7 hektare. Deforestasi netto terbesar terjadi di Riau. Selanjutnya, tiga provinsi yang mengalami bencana banjir dan longsor, Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat ikut menyumbang angka deforestasi netto.
MASYARAKAT MENJAGA BUKAN MENJAGAL
Laporan KPA Agraria mengungkap, deforestasi selalu dipicu oleh ulah korporasi yang dibekingi kebijakan pemerintah, seperti bisnis perkebunan, pertambangan, hingga kehutanan. Untuk Sumatra aktivitas itu telah menyulut konflik agraria.
Daerah-daerah yang kini jadi korban bencana seperti Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat adalah wilayah konflik agraria. Dalam catatan akhir tahun, KPA Agraria mencatat terjadi peningkatan konflik sebanyak 21% pada tahun lalu.
Konflik disulut penguasaan lahan dan hutan oleh korporasi dan proyek pemerintah. Secara sektoral, pertambangan, perkebunan sawit, hingga kehutanan jadi sumber utama konflik. Letupan konflik itupun merata hampir di semua provinsi. Hanya saja, untuk wilayah Sumatra sebagai titik panas konflik tertinggi kedua pada tahun lalu, Sumatra Utara dan Sumatra Barat paling banyak mengalami letupan.
Konflik terbesar di Sumatra Utara yang belum kelar hingga kini adalah penguasaan lahan dan hutan oleh PT Toba Pulp Lestari alias TPL di daerah Tapanuli. Untuk Sumatra Barat, konflik terbesar antara warga versus korporat sawit yang disebut-sebut dari Wilmar Group. Konflik agraria pun kerapkali meletup di daerah Jambi yang memegang trah sebagai kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat. Dengan catatan konflik tinggi seperti itu, selayaknya yang patut disadari adalah penegakan hukum seutuhnya. Sebab, masyarakat sedari awal sadar akan bahaya rusaknya alam sebagai sumber dan benteng dari bencana lingkungan. Lantas siapa yang patut diajari bila melihat jejak deforastasi atau penggundulan hutan di Sumatra yang diduga memicu bencana dan menelan korban ratusan nyawa ini?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Empat Terduga Pembunuh Pria di Wirobrajan Ditangkap Polisi
Advertisement
KA Panoramic Kian Diminati, Jalur Selatan Jadi Primadona
Advertisement
Berita Populer
- Kemenkop Kejar 20.000 Gerai Kopdes Operasi Januari 2026
- MBG Habiskan Rp900 Miliar Per Hari Mulai 2026
- Garuda Indonesia Pangkas Gaji Direksi 10 Persen, Efisiensi Perusahaan
- Harga Turun, Penyerapan Pupuk Bersubsidi Gunungkidul Meningkat
- BLU Kemenperin Bisa Terapkan Tarif Kuliah Rp0 untuk Mahasiswa Miskin
- Luna Maya Cerita Tantangan Berat Perankan Suzzanna di Film Baru
- BMKG: Jawa Barat Alami 108 Gempa Selama November 2025, Terbesar M3,8
Advertisement
Advertisement



